Tak
ada yang salah kecuali tidak etis dengan dilanjutkannya rencana pembangunan
gedung baru DPR. Sempat tertunda, akhirnya semua fraksi setuju.
Namun,
selain tidak etis, keputusan itu ironis dan absurd. Gedung dibangun di tengah
jeritan kemiskinan rakyat, di tengah dambaan rakyat terbebas dari merosotnya
kinerja tiga lembaga demokratis, termasuk rendahnya balutan dugaan korupsi di
lembaga DPR. Melanjutkan rencana pembangunan gedung baru 36 lantai ibarat
menutup empati dan simpati dengan kondisi rakyat, menafikan kritik perilaku tak
terpuji, seperti pelesiran dengan nama studi banding, malas menghadiri sidang,
rendahnya produk legislasi, atau keukeuh-nya memperjuangkan peningkatan
fasilitas pribadi.
Pernyataan
bahwa sudah dianggarkan, perlu kelengkapan sarana dan keamanan kerja dalam
ranah kondisi saat ini menegaskan asumsi absurd dan ironi kinerja DPR. Mereka
bergeming atas biaya Rp 1,6 triliun itu senilai jaminan kesehatan masyarakat
bagi 22 juta penduduk miskin. Satu anggota beserta staf ahli menempati ruang
kerja seluas 120 meter persegi dianggap sudah seharusnya.
Keberatan
bukannya belum pernah disampaikan. Departemen Teknis Kementerian Pekerjaan Umum
bahkan menyatakan hasil pemeriksaan visual dan detail atas gedung lama,
Nusantara I, belum mengkhawatirkan.